Jika rakyat pergi
Ketika penguasa pidato
Kita harus hati-hati
Barangkali mereka putus asa
Ketika penguasa pidato
Kita harus hati-hati
Barangkali mereka putus asa
Kalau rakyat bersembunyi
Dan berbisik-bisik
Ketika membicarakan masalahnya sendiri
Penguasa harus waspada dan belajar mendengar
Dan berbisik-bisik
Ketika membicarakan masalahnya sendiri
Penguasa harus waspada dan belajar mendengar
Seruan di atas, bersumber dari puisi “Peringatan”
karya Wiji Thukul yang bernama asli Wiji Widodo, yang dibuat pada tahun
1986. Sayang, kita tidak bisa membaca atau mendengar puisi-puisi baru
dari Wiji Thukul lagi. Hingga saat ini, kita tidak tahu, apakah dia
masih hidup atau sudah meninggal. Tidak ada satu pihak-pun bisa
memberikan keyakinan mengenai statusnya. Ia masih masuk ke dalam daftar
13 orang yang hingga saat ini masih dianggap sebagai korban penghilangan
paksa.
Pada periode 1996-1998, sejarah mencatat
terjadi banyak kasus penculikan terhadap para aktivis demokrasi.
Sebagian diketahui meninggal, sebagian sudah dilepas kembali, dan
sebagian statusnya tidak diketahui. Benarlah, mengutip almarhum Munir, salah
satu perjuangan kita adalah melawan lupa. Bangsa kita adalah bangsa
pelupa. Berbagai tragedi, hadir, menyedot perhatian, tapi setelahnya,
berganti dengan tragedi-tragedi lain atau hiruk-pikuk kemeriahan,
sehingga yang sudah terjadi, terlewat dan terabaikan kembali. Lantaran
itulah, organisasi seperti Ikatan Keluarga Orang Hilang (IKOHI).
KONTRAS, dan berbagai elemen masyarakat lainnya tiada henti untuk tetap
mengingatkan kita pada orang dan peristiwa pencideraan Negara terhadap
warganya.
Ingatan tentang Wiji Thukul dibangkitkan
kembali ketika saya menerima tag di sebuah jejaring sosial atas
lukisan-lukisan untuk poster (atau postcard) dari Yayak Iskra atau Yayak
Yatmaka. Yayak, seorang aktivis yang banyak bergerak dan berjuang
melalui gambar dan lagu (saya membuat tiga postingan mengenainya, Di
SINI, Di SINI, dan Di SINI) membuat beberapa gambar yang terkait dengan
Thukul, sebagian menjadi empat seri lukisan untuk Thukul. Sayang, saya tidak mengenal Wiji Thukul
dengan baik. Seingat saya, hanya dua kali pernah bertemu dengannya di
tahun 1990-1991. Di sebuah diskusi kebudayaan di Solo dan saat
bersama-sama para penyair dan aktivis membaca puisi di Gedung Seni Sono
(sekarang gedung ini sudah tidak ada, menjadi bagian dari halaman Gedung
Agung). Selebihnya saya mengenal hanya lewat karya-karyanya dan
cerita-cerita tentang aktivitasnya dari berbagai kawan atau melalui
tulisan-tulisan mengenainya.
Wiji Thukul bukanlah siapa-siapa. Lelaki
kelahiran 26 Agustus 1963, anak pertama dari tiga bersaudara, tinggal di
sebuah perkampungan miskin di Solo yang mayoritas orangnya bekerja
sebagai buruh, tukang becak, kuli rendahan, dan orang-orang yang bekerja
serabutan, yang tidak pernah diperhitungkan oleh para penguasa.
Bapaknya sendiri bekerja sebagai pengemudi becak. Thukul sendiri adalah
seorang yang bekerja serabutan. Pernah bekerja sebagai loper Koran, calo
karcis bioskop dan menjadi tukang pelitur di perusahaan mebel. Tapi, Wiji Thukul menulis. Ia menulis
puisi. Menulis puisi yang menjadi kesukaannya sejak ia masih SD. Ketika
SMP ia mulai ikut teater. Ia aktif dalam kelompok Teater Sapu Jagat. Ia
tidak hanya menulis puisi, tapi juga membacakan puisi-puisinya masuk
keluar kampung. Ngamen puisi.
Lulusan Sekolah Menengah Karawitan
Indonesia (SMKI) jurusan tari ini, bersama istri dan kedua anaknya juga
membuat sanggar di kampung tempat tinggalnya. Sanggar Suka Banjir
namanya. Memfasilitasi anak-anak di lingkungannya untuk menggambar dan
berteater. Bukan untuk menjadikan anak-anak sebagai seniman. Tapi itu
pendekatan pendidikan agar anak-anak bisa berpikir dan bertindak
merdeka. Kritis terhadap realitas diri dan realitas lingkungannya. Thukul sangat aktif menulis puisi. Puisi
yang tampaknya oleh orang-orang sastra dianggap bukan puisi. Puisi yang
sama sekali tidak indah. Tidak membawa orang pada kedamaian. Ia menulis
tentang realitas dirinya. Menulis tentang realitas orang-orang di
sekelilingnya yang terpinggirkan dan suaranya dibungkam oleh penguasa.
Puisinya adalah suara. Suara hatinya dan suara orang-orang pinggiran.
Semuanya dinyatakan secara lugas dan tegas. Mudah dipahami oleh
siapapun.
Orang-orang menyebut puisi-puisinya
sebagai puisi protes. Tapi Dalam wawancara dengan majalah Sastra 2
November 1994, ia mengungkapkan posisinya, ”Saya bukan penyair protes. Saya menyadari proses.
Menulis puisi persoalannya selalu kembali ke persoalan diri saya.
Begitu saya drop out dari sekolah, saat itulah saya sadar tentang arti
hidup yang sebenarnya. Ada semacam pembenturan nilai. Yah, setelah
keluar sekolah, akhirnya saya harus memilih menjadi tukang pelitur. Saya
harus mengatur diri sendiri dan memilih mana yang baik dan tidak. Kalau
di sekolah yang baik sudah ditentukan, padahal itu belum tentu baik
bagi kita.”
Pernah saya mendapat cerita dari seorang
kawan, pada akhir tahun 80-an atau awal 90-an, ketika berlangsung
pertemuan para sastrawan di Taman Ismail Marzuki, bersama Halim Hade,
Wiji Thukul membacakan dan membagi-bagikan puisinya dalam bentuk
stensilan di luar pertemuan. Ini salah satu bentuk perlawanan menggedor
kemapanan. Semangat perlawanan, inilah yang kemudian
menonjol dan melekat bersama dirinya. Menggunakan media teater, ia
melakukan pendidikan kritis bagi kaum buruh di Solo. Ia hadir dan turut
serta bersama kaum buruh melakukan aksi-aksi menuntut perubahan. Pada
aksi buruh di bulan Mei 1995 ia mengalami kekerasan dari aparat keamanan
yang membuat matanya hampir buta.
Berjuang memang tidak bisa sendiri. Wiji
Thukul bersama beberapa kawannya (seniman, aktivis mahasiswa, dan
aktivis pro-dem lainnya) kemudian membentuk dan mengembangkan Jaringan
Kerja Kesenian Rakyat (JAKKER). Ia juga bergabung dengan Persatuan
Rakyat Demokratik (yang kemudian menjadi Partai), dan pada Kongres
Pertamanya di tahun 1994 ia terpilih sebagai Ketua Divisi Budaya. Gerakan bersama menentang rejim Soeharto,
menemukan salurannya ketika terjadi konflik internal di Partai
Demokrasi Indonesia pada tahun 1996. Pro Soeryadi yang didukung oleh
pemerintah, militer dan para pengusaha membuat kongres tandingan untuk
menjegal Megawati yang naik sebagai Ketua PDI. Massa pendukung Megawati
Protes dan membuat aksi-aksi di Kantor PDI. Aksi ini didukung oleh
tokoh-tokoh oposisi. Pada tanggal 27 Juli 1996, aksi ini diserbu oleh
preman yang didukung aparat, yang menimbulkan reaksi sehingga terjadi
kerusuhan. PRD dituduh oleh pemerintah sebagai dalang kerusuhan yang
berlanjut pada perburuan dan penangkapan terhadap tokoh-tokoh PRD.
Pada periode itu pula, Wiji Thukul
sebagai salah seorang yang diburu oleh aparat keamanan menghilangkan
diri. Semula ia masih membangun kontak dengan keluarga dan
kawan-kawannya. Terakhir kali ia masih membuat kontak pada tahun 1998.
Selanjutnya, hilang tak berbekas. Pada periode 1996-1998, berbagai kasus
penculikan terhadap para aktivis berlangsung. Salah satu pelaku
penculikan yang kemudian terungkap adalah Tim Mawar dari Kopassus yang
dipimpin Oleh Prabowo Subianto. Pada tahun 2000, hilangnya Thukul
dilaporkan oleh keluarganya dan sejak tahun itu pula Wiji Thukul resmi
dinyatakan sebagai salah satu orang yang mengisi daftar orang hilang. Kegiatannya dalam kesenian membuahkan hasil dengan pemberian penghargaan terhadapnya. Pada tahun 1991 ia memperoleh penghargaan Wetheim Encourage Award yang pertama bersama penyair WS Rendra.
Kegiatan-kegiatannya dalam penulisan dan
dibarengi dengan aksi-aksi nyata yang gigih memperjuangkan kepentingan
rakyat yang terpinggirkan mendapatkan apresiasi dengan pemberian
penghargaan ”Yap Thiam Hien Award” pada tahun 2002. Dewan Juri,
yang terdiri dari Prof Dr Soetandyo Wignjosoebroto, Prof Dr Azyumardi
Azra, Dr Harkristuti Harkrisnowo, HS Dillon, dan Asmara Nababan
menjelaskan alasan mendasar sehingga mereka memilihnya, yaitu, karena ia
seorang reminder dan representasi orang yang tidak mengerti HAM secara
teoretis, tetapi aktif dalam memperjuangkannya.
Sebagai reminder, Wiji mengingatkan masih
banyak orang yang hilang karena alasan-alasan politik. Pengingatan yang
dilakukannya memang suatu hal yang pahit, tetapi harus perlu
disampaikan, khususnya ketika pemerintah sudah tidak berdaya lagi untuk
melindungi rakyatnya. Sebagai orang yang aktif memperjuangkan
HAM, ia pantas diberi penghargaan karena tanpa latar belakang pendidikan
yang tinggi tentang HAM, berani memperjuangkannya tanpa pamrih. Dalam
perjuangannya, Wiji juga dikenal sebagai orang yang tidak memunyai suatu
lembaga khusus untuk memperjuangkan HAM, tapi ia berjuang sendiri. Sedangkan menurut Todung Mulya Lubis dari
Yayasan Pusat Studi Hak Asasi Manusia, yang juga menjadi salah satu
pendiri Yap Thiam Hien Award, Wiji terpilih karena melalui
puisi-puisinya mengajak kaumnya-masyarakat yang termarjinalisasi di
Solo-untuk bangun memperjuangkan hak mereka yang asasi, hak yang mereka
miliki karena mereka manusia. Puisinya ditulis dengan bahasa yang
sederhana, oleh karena itu mudah dipahami oleh orang kebanyakan.
Puisinya bening, karena itu dengan mudah kita menangkap nilai yang ingin
dikomunikasikannya, yakni nilai-nilai kemanusiaan.
Sekarang di manakah Wiji Thukul? Sungguh, kami semua menanti kepastiannya.
0 komentar :
Post a Comment